Beranda | Artikel
Menjadi Kaya Kemudian Menikah Lagi, Termasuk Mendzalimi Istrinya yang Pertama?
Kamis, 4 Juni 2015

SESEORANG BERUBAH MENJADI KAYA KEMUDIAN MENIKAH LAGI, APAKAH DIA BERARTI TELAH MENDZALIMI ISTRTINYA YANG PERTAMA?

Pertanyaan
Saya sebelumnya termasuk orang yang menengah ke bawah dari sisi ekonomi, kemudian saya menikah dengan istri pertama, ia tinggal di rumah keluarga saya, ia bersabar dalam menjalani kehidupan bersama saya, suka duka dihadapi bersama. Sekarang Allah telah memberikan karunia kekayaan kepada saya hingga menjadi milyarder yang dapat mencukupi nafkah secara utuh –dengan izin-Nya-, saya sekarang ingin menikah lagi.

Pertanyaan saya : “Apakah poligami saya nantinya pada saat saya sudah menjadi kaya termasuk kedzaliman bagi istri pertama saya yang telah hidup bersama saya pada masa sulit sebelumnya ?, jazakumullah khoiran dan saya menunggu jawaban yang terperinci anda.

Jawaban
Alhamdulillah.

Pertama: Menikah dengan istri kedua –pada hakekatnya- bukanlah termasuk perbuatan dzalim kepada istri pertamanya, menikah lagi dengan istri ketiga bukan berarti mendzalimi istri pertama dan keduanya, menikah lagi dengan istri keempat bukan berarti mendzalimi para istri sebelumnya. Barang siapa yang berkata demikian, maka berarti ia telah menisbahkan kepada syariat yang suci ini dengan kedzaliman, dan ini sangat mustahi !. Kedzaliman itu buruk dan diharamkan secara ijma’. Kedzaliman adalah mengambil hak orang lain, mana ada hak istri pertama yang diambil secara dzolim oleh suaminya dengan menikah lagi ?!

Berpoligami pada dasarnya dan menurut syari’at bukanlah bentuk kedzaliman, akan tetapi kedzaliman itu jika hak-hak dari istri pertamanya terabaikan, suami tidak menunaikan apa yang telah Allah –Ta’ala- wajibkan kepada istrinya, bentuk kedzaliman seperti ini bisa jadi juga terjadi kepada istri kedua, kedzaliman pun bisa juga terjadi kepada istri yang tidak dimadu suaminya, bahkan yang monogami inilah yang banyak mengalami kedzaliman, pengadilan agama banyak menerima aduan dalam masalah rumah tangga yang kebanyakan terjadi dari mereka yang monogami (yang beristri tunggal), kedzaliman terjadi berasal dari tingkah laku seorang suami bukan dalam hukum asal pernikahannya. Barang siapa yang lebih cenderung kepada istri keduanya dengan menelantarkan hak-hak istri pertamanya dalam hal pembagian hari, nafkah dan tempat tinggal, maka dia telah berlaku dzalim. Begitu juga sebaliknya, barang siapa yang memberikan hak kepada masing-masing istrinya maka dia telah berlaku adil.

Ulama Lajnah Daimah menjawab pertanyaan yang menyatakan bahwa jika seorang suami menikah lagi dengan istri kedua maka suami tersebut telah berbuat dzalim kepada istri pertamanya:

“Tidaklah pernikahan poligami tersebut merupakan kedzaliman kepada istri pertama ; karena Allah –Ta’ala- telah menghalalkan poligami dalam firman-Nya:

 فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ

“…maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat”. [An Nisa’/4: 3]

[Syeikh Abdul Aziz bin Baaz – Syeikh Abdullah bin Ghadyan – Syeikh Sholeh al Fauzan – Syeikh Abdul Aziz Alu Syeikh – Syeikh Bakr Abu Zaid].

[Fatawa Lajnah Daimah : 18/444-445]

Kedua : Adapun jika seorang suami menikah lagi setelah berubah menjadi kaya –dengan izin Allah-, mampu berlaku adil kepada kedua istrinya, maka tidak masalah, tidak ada kedzaliman sedikitpun dalam hal ini, kecuali jika suami tersebut memperlakukan istri pertamanya dengan buruk, atau mengingkari keutamaan dan kesabarannya dalam menjalani rumah tangga sebelumnya.

Syeikh Abdurrahman as Sa’di –rahimahullah- berkata: “Dalam masalah tersebut dia boleh menikah lagi dengan syarat bisa mengendalikan dirinya untuk tidak berlaku dzalim, merasa mampu untuk menunaikan hak-hak mereka, namun jika dia merasa hawatir dari semua itu maka cukup dengan satu istri saja atau dengan milku yamin (budak wanita yang kamu miliki) ; karena milku yamin tidak berhak mendapatkan giliran hari.

ذَلِكَ أَدْنَى أَلاَّ تَعُولُواْ

ذَلِكَ(Mencukupkan diri dengan satu istri atau dengan “milku yamin”(budak wanita yang dimiliki)
أَدْنَى أَلاَّ تَعُولُواْ” (Agar kalian tidak mendzalimi)

Dalam hal ini seorang hamba dihadapkan kepada perkara yang dihawatirkan akan berbuat dzalim dan tidak mampu mengamalkan kewajiban –meskipun hukum poligami mubah- ; karena sebaiknya tidak dihadapkan pada perkara yang seperti itu, bahkan sebaiknya dia merasa dalam kelapangan dan kesehatan, karena kesehatan adalah sebaik-baik perkara yang diberikan kepada seorang hamba”. [Tafsir as Sa’di: 163]

Sedangkan permusuhan yang terjadi antara para istri, hal itu juga terjadi antar personal dalam satu keluarga bahkan terkadang lebih jelas lagi permusuhannya, maka yang demikian itu tidak menjadi penghalang bagi orang-orang yang berakal untuk mewujudkan kemaslahatan yang diharapkan dari pernikahan keduanya, jika dia menginginkannya atau membutuhkannya.

Sedangkan apa yang diperkirakan oleh istri pertamanya bahwa suaminya telah mendzaliminya karena hati dan hartanya menjadi terbagi dengan istri keduanya, maka masalah rizki telah dijamin oleh Allah –Ta’ala-, Dialah penciptanya, Dialah yang membagi kepada seluruh hamba-hamba-Nya.

وما يدري الفقيرُ متى غِناه … وما يدري الغَنيُّ متى يَعيلُ

Tidaklah seorang yang fakir mengetahui kapan masa kayanya tiba
dan tidaklah seorang yang kaya mengetahui kapan dia menjadi fakir?!”

Adapun masalah rasa cinta hati yang terbagi ; siapakah yang mengklaim bahwa hati itu tidak bisa menampung rasa cinta kepada dua istri atau lebih, kecuali hanya dalam bayangan mereka para penyair, ucapan para pencinta, dan mereka yang tepengaruh oleh mereka?!

Tidakkah seorang bapak mampu membagi hatinya kepada kedua anaknya atau lebih, sesuai dengan kehendak Allah?!, maka apa yang menjadikan hatinya sempit untuk kedua istrinya atau lebih sesuai yang dihalalkan oleh Allah?!,

Syeikh Muhammad al Amin asy Syinqithi –rahimahullah- berkata: “Apa yang diklaim oleh mereka orang-orang kafir yang menjadi musuh agama Islam bahwa berpoligami itu sumber permusuhan dan konflik terus menerus yang menyebabkan kesengsaraan hidup; karena setiap kali suami berempati kepada salah satu istrinya, maka istrinya yang lain akan marah, dia selalu akan hidup di antara dua kemarahan. Hal ini bukanlah termasuk sikap yang bijak, bahkan pendapat ini lemah, kelemahannya pun bisa ditebak oleh semua orang yang berakal; karena permusuhan dan fitnah dalam rumah tangga sulit untuk bisa dihindari selamanya, bisa saja terjadi antara seorang laki-laki dengan ibunya, antara dia dengan ayahnya, antara dia dengan anak-anaknya, antara dia dengan istrinya (monogami), hal ini perkara yang biasa yang tidak perlu dibesar-besarkan. Di balik semua fitnah yang ada terdapat kemaslahatan besar yang telah kami sebutkan, di antaranya untuk menjaga kehormatan para wanita, mempermudah semua pernikahan mereka, memperbanyak jumlah umat yang diharapakan menjadi garda terdepan untuk menghadang musuh-musuh Islam; karena kemaslahatan besar harus didahulukan meraihnya dari pada mencegah kerusakan yang kecil.

Kalau  misalnya fitnah atau keburukan yang diklaim dalam berpoligami merupakan kerusakan, atau bahwa menyakiti hati istri pertama dengan adanya istri kedua merupakan kerusakan,  maka tetap didahulukan kemaslahatan yang telah kami sebutkan sebelumnya.

Al Qur’an telah membolehkan poligami untuk kemaslahatan wanita agar tidak terhalang dari pernikahan, dan untuk kemaslahatan laki-laki agar manfaat yang dimilikinya tidak tertahan pada saat istrinya berhalangan, juga untuk kemaslahatan umat agar jumlahnya menjadi banyak hingga memungkinkan untuk menghalau musuh mereka agar kalimat Allah menjadi yang tertinggi. Poligami itu merupakan syari’at Yang Maha Bijaksana dan Maha Mengetahui, tidaklah ada yang mencederainya kecuali mereka yang Allah butakan mata hatinya dengan gelapnya kekufuran”. [Adhwaul Bayan: 3/23-24]

Ketiga : Wahai seorang istri yang mulia hendaknya anda ketahui bahwa banyaknya harta akan menjadi fitnah, dan bahwa pemikiran suami anda untuk melampiaskan syahwatnya melalui pernikahan yang disyari’atkan termasuk yang sebaiknya didukung karena dihawatirkan akan terjerumus kepada fitnah yang banyak menimpa mereka para orang kaya, dengan adanya beberapa rumah tangga bagi laki-laki kaya tersebut dan beberapa anak dari masing-masing istrinya akan mampu mengendalikan syahwat dan perilakunya; karena tidak mempunyai banyak waktu sebagaimana yang dimiliki oleh para hartawan untuk memalingkannya kepada yang tidak dihalalkan dan tidak dibolehkan. Maka pendapat kami terkait pemikiran seorang suami yang telah Allah –Ta’ala- berikan nikmat harta kepadanya untuk menikah lagi dengan istri kedua, ketiga, … hal ini untuk kebaikan agamanya maka tidak sebaiknya dicela dan dihalangi niatannya untuk meraih tujuannya dengan menikahi wanita sesuai dengan kitab dan sunnah.

Syeikh Nashiruddin al Baani –rahimahullah- pernah ditanya:
Seorang laki-laki ketika hartanya menjadi banyak, maka pikiran pertamanya adalah menikah lagi namun tidak untuk membangun rumah tangga tapi untuk bersenang senang?

Maka Syeikh –rahimahullah- menjawab:
“Boleh (mubah), akan tetapi kami menyarankan agar ditingkatkan dari mubah menjadi mustahab (sunnah), yaitu; dengan memperbanyak umat Nabi Muhammad –shallallahu ‘alaihi wa sallam-, mengharap dan memperbanyak pahala dari Allah dengan mendidik diri sendiri dan keturunannya”. [Asyrithah Silsilah al Huda dan An Nuur: 521]

Kesimpulan:
Seorang suami menikah lagi dengan istri kedua setelah Allah –Ta’ala- memberikan kekayaan kepadanya bukanlah bentuk kedzaliman kepada istri pertamanya, dengan syarat memberlakukan keduanya dengan adil sebagaimana yang telah diwajibkan oleh Allah –Ta’ala-: Adil dalam nafkah, pembagian hari, tempat tinggal dan pakaian.

Wallahu a’lam.

Disalin dari islamqa


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/4161-menjadi-kaya-kemudian-menikah-lagi-termasuk-mendzalimi-istrinya-yang-pertama.html